Senin, 07 Maret 2011

TULISAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL DAN SUMBER NILAI DALAM PRAKSIS SOSIAL DAN KEBANGSAAN

TULISAN

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL DAN SUMBER NILAI DALAM PRAKSIS SOSIAL DAN KEBANGSAAN
Palar Batubara

Gemuruh dan gempita 100 tahun Peringatan KebangkitanNasional tentunya telah menggelorakan kembali Semangat Kebangsaan kita semua.  Momentum ini memberikan spirit bagi kitauntuk meyakini bahwa bangsa kita dapat mengatasi berbagai persoalan yangmelanda, melampaui tubir jurang krisis yang kian menganga, keluar dari dasarkebangkrutan sebagai sebuah bangsa dan menuju kebangkitan nasional yang lebihnyata.  Di tengah haru-biru tersebut, padahari ini, tepatnya enampuluh tiga tahun yang lalu berlangsung peristiwabersejarah yang penting dan menjadi landasan bagi penyelenggaraan kehidupanberbangsa dan bernegara.  Pada tanggal 1Juni 1945 para founding fathers berkumpul dalam forum persidangan BPUPKI untukmerumuskan dasar negara bagi Indonesia Merdeka yang akan segera dicapai.  Hal yang sungguh luar biasa pada momentum ituadalah sikap negarawan dan visi ke depan yang universal dari para pemimpinpolitik kita jauh melampaui masanya. Wujud nyata dari keberhasilan itu adalah dirumuskannya prinsip–prinsip ber-negaradan ber-bangsa, yang digali dari Nilai-nilai Luhur Bangsa Indonesia, danterciptanya harmoni atas perbedaan pandangan ditengah Keragaman Budaya danLatar Belakang Pemikiran demi tercapainya Indonesia Merdeka yang merekacita-citakan dan perjuangkan bersama.  Rumusanhasil sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 berupa konsensus sosial inilah yangkemudian kita kenal dengan Pancasila.          Pancasilaterlahir sebagai kristalisasi perjalanan sejarah dan komitmen kebangsaansegenap pemimpin politik pada waktu itu, dan sekaligus menjadi cita–citakolektif tentang terselenggaranya tata kehidupan masyarakat baru yang lebihberadab, adil makmur, dan sejahtera materil maupun spirituil dalam wadah negarabangsa yang berdaulat sepenuhnya.  Yaitu Indonesiayang Bhineka Tunggal Ika, negara dan bangsa yang hidup pada Taman Sari-nyabangsa-bangsa untuk bersama-sama menyelenggarakan Perdamaian Dunia.  Maka memperingati Hari Lahirnya Pancasila 1Juni 1945, hal yang penting dan perlu digarisbawahi dengan tegas, dalammengkaji dan memperbincangkannya, adalah keterbukaan terhadap konteks waktu dansemangat jaman, aspirasi generasinya dengan berbagai perspektif sudut pandangmereka, untuk kemudian menjadi perspektif baru yang ditarik dari realitashistoris Indonesia dan Pancasila, dengan realitas kekiniannya.  Perspektif baru ini menjadi pijakan utama dalammenempatkan diri (re-posisi), guna penataan dan pengelolaan negara dan bangsa agarberada pada ruang dan waktu yang tepat, utamanya untuk melesatkan generasi mudakita ke masa depan yang lebih gilang-gemilang.

Memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni 1945, adalahmemperbincangkan ideologi nasional Bangsa Indonesia yang tentu saja akan dikajiberdasarkan konteks waktu, generasi dan semangat jaman, maupun perspektif sudutpandangnya, dan diharapkan dapat menjadi wacana yang lebih komprehensif sertabermuara pada kegiatan dan tindakan yang nyata, sehingga tidak terjebak dalamromantisisme, abstraksi dan angan-angan pemikiran belaka.  Pancasila tidak bergerak pada proseskonseptualisasi yang semakin mantap, tetapi mempunyai peran dalam kegiatan empiriksebagai visi, orientasi dan perangkat kritik dalam kehidupan praktis berbangsadan bernegara.  Pembudayaan Pancasilasebagai ideologi modern harus berjalan selaras dengan proses pembangunan bangsadalam berbagai aspeknya tanpa terjebak dalam praktik dogmatisme dandeterminisme, serta indoktrinasi.         Indonesiadan Pancasila adalah realitas historis dari hasil perjuangan rakyat yangmelepaskan diri dari penjajahan dan penindasan, untuk hidup sebagai bangsa yanglebih bermartabat dan lebih sejahtera. Pancasila sebagai ideologi bangsa mempunyai makna fungsional sebagaipenopang solidaritas nasional dan sekaligus sebagai sumber inspirasipembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyatIndonesia.  Pancasila oleh para foundingfathers dimaksudkan sebagai staat fundamental norm sekaligus philosophiegrondslag.  Makna dari hal ini adalahditempatkannya Pancasila sebagai sistem nilai yang menjadi landasan bagipenyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta filosofi hidup bagi setiapwarga negara.  Pancasila dengan demikianmemiliki makna emansipatif karena ada orientasi berupa tindakan praktis dalamsetiap denyut kehidupan di Indonesia. Pancasila menjadi jiwa yang tertanam dalam setiap sanubari seluruh elemenbangsa untuk menyusun Indonesia,kini dan esok. Dalam pengalamankehidupan kebangsaan kita, Pancasila yang telah berusia 63 tahun lamanya, telahmelampaui ruang dan waktu berdialektika dengan dinamika jaman.  Sepanjang waktu itu, Pancasila telah menjadilandasan bagi penyelenggaraan negara dengan berbagai dinamikanya. Sejarah lahirnya Pancasila memberikanpesan kepada kita bahwa Pancasila merupakan manifestasi dari keluhuran budi dansemangat kolektifitas dari bangsa Indonesia yang oleh para founding fathers dirumuskanmenjadi suatu tata nilai bagi kehidupan kebangsaan yang lebih untuk Indonesia yangmerdeka.  Pancasila menjadi produkhistoris dari konsensus sosial segenap kekuatan sosial politik yang membentukIndonesia modern tersebut, sekaligus dijadikan pengalaman empiris dalammenciptakan harmoni di antara perbedaan kepentingan dari keragaman orientasi.

Nilai-nilai Pancasila pada praktik pengejawantahannya kemudiansangatlah dipengaruhi oleh struktur kepentingan kekuasaan politik yang tengahberlangsung.  Pengalaman sejarah politik bangsakita memperlihatkan hal tersebut.  Pancasilapernah berada pada masa dijadikan suatu instrumen politik untuk mengakhirifragmentasi dan kekacaubalauan politik eksperimen demokrasi liberal dalamsistem politik parlementer yang bertentangan dengan Pancasila yang berlandaskannilai-nilai ke-Indonesiaan.  Dengandemikian, keluarnya dekrit Presiden 1 Juli 1959 dapat dimaknai sebagai suatuupaya politik untuk mengembalikan prinsip permusyawaratan yang merupakan nilaiprinsipal dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, Pancasila harus berdialektikadengan interpretasi yang dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru. Komitmen untukmelaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen pada realitasnyakemudian justru menjadi jargon dan idiom politik politik belaka.  Kita menyaksikan realitas adanya keretakanantara sistem nilai ideal dengan pengalaman praktis.  Pancasila bermetamorfosa sebagai ideologicalstate apparatus dalam bentuk doktrin resmi berupa butir–butir P4 yangdioperasionalisasikan oleh represif state apparatur dalam forum–forum resmipenataran, litsus negara dengan berbagai aparatusnya.  Tingkat pemahaman terhadap butir–butir P4kemudian menjadi ukuran bagi sesuatu yang oleh negara dianggap sebagai kadarkomitmen terhadap Pancasila.  Persoalanmuncul bukan pada nilai–nilai ideal yang terkandung dalam P4, namun terletakpada kesenjangan antara nilai–nilai ideal dalam penjabaran Pancasila denganpraktek kenegaraan.  Tak hanya itu,Pancasila pun digunakan sebagai instrumen untuk melakukan penataan politik yangmuaranya adalah menjaga legitimasi dan stabilitas kekuasaan rezim yangberlangsung.  Atas nama Pancasila,penguasa secara sewenang–wenang melakukan tindakan represi terhadap masyarakatkritis yang dianggap potensial menjadi ancaman bagi kekuasaan.  Dua realitas penyelewengan terhadapnilai-nilai Pancasila, yang pertama: adalah bentuk dari praktik kemalasan bangsauntuk senantiasa mengaktualisasi dan merevitalisasi nilai-nilai luhur jadi-diribangsa, sebagai elaborasi Pancasila terhadap konteks aspirasi jaman dan dangenerasi.  Sehingga menjadikan kita tidakpercaya diri dan gamang.  Mengadopsisebuah nilai dengan menirunya mentah-mentah. Bila tanah (baca: ruang) yang mau dipijak saja tidak tahu, langit (baca:jaman) mana yang akan dijunjung.  Kedua: terutamapada praktik penyerderhanaan, yang melahirkan penyeragaman dan orientasi kepadamateri yang bersifat fisik belaka. Proses sebagai nilai penentuan hasil cenderung dibaikan, tak pelak lebihmudah menerima hal yang instan dan cepat saji. Rakyat dan realitasnya diabaikan perannya sebagai unsur emansipatorisbersama pemerintah dan negara, untuk menggunakan Pancasila dalam menilai pembangunanbangsa dan negara.  Pada prinsipnya keduapraktik penyimpangan, adalah praktik korupsi, terutama terhadap nilai, yangkini telah melahirkan ketidakadilan, diskriminasi, dan cenderung menggunakan kekerasandaripada berdialog dan bertoleransi karena pluralitas masyakat dan budayanya.


Indonesia,kini memasuki babak lanjut dari perjalanan sejarahnya, masuk pada tatamasyarakat global yang makin integratif. Berjuta peluang dan tantangan adadidepan kita.  Perkembangan tehnologi daninformasi memungkinkan kita untuk mengembangkan diri dan memajukan peradabankita.  Namun demikian, ketidaksiapan kitadapat juga menimbulkan permasalahan dalam pergaulan global.  Dalam konteks ini kita merasakan bahwa dampakglobalisasi yakni liberalisasi ekonomi dengan praktik korporasi yang tamak,yang pernah dialami oleh bangsa kita hampir genap empat abad lamanya.  Mulai era imperialisme kolonial Belandadengan Perseroan Terbatas yang bernama VOC menancapkan kuku kekuasaanya dikerajaan–kerajaan Nusantara.  Kemudian hinggaberlangsung pada derajat yang lebih intens ketika pada pemerintahan yang meriliskebijakan politik dan ekonomi pintu terbuka terhadap kepentingan modalasing.  Dikeluarkannya UU Penanaman ModalAsing tahun 1967, membawa Indonesia dalam tata ekonomi yang dikonstruksi olehpaham kapitalisme-liberalisme secara lebih dalam.  Pancasila dilupakan sebagai dasar filosofi kehidupanberbangsa dan bernegara, yang dapat menjadi dasar penataan, politik, ekonomidan negara.  Liberalisasi tahap lanjut saatini, berjalan paralel dengan arus gerakan demokratisasi yang diusung olehgelombang reformasi, implikasinya adalah semakin terbukanya ruang untukmengekspresikan kebebasan yang cenderung menjadi anarkhi.  Liberalisasi melanda seluruh sektor danbidang kehidupan tanpa terkecuali dan menyeret Indonesia dalam tata duniaglobal tanpa reserve.  Liberalisasi inidi satu sisi memberikan inspirasi akan tata masyarakat bebas, keluar daripraktik penindasan dan penjajahan, dari rezim yang hegemonik dan represif.  Kebebasan ini diyakini dapat memberikankesempatan untuk menata kehidupan lebih baik sebagaimana menjadi cita–cita foundingfathers.  Namun demikian, yang perludikritisi adalah muatan kepentingan neoliberal yang menyelusup dalam kebebasan inisarat dengan sejumlah kontradiksi yang tidak sesuai dengan Indonesia Merdekayang kita cita-citakan.  Saat ini parapemimpin negara kita, seolah kehilangan daya untuk bernegoisasi dengankepentingan–kepentingan global maupun kepentingan kelompok yang kerap bertentangandengan kepentingan nasional.  Hal inimembuat masyarakat bangsa kita mengalami kemunduran kebelakang jauh seperti yangdicita-citakan Pancasila, dan terjebak dalam berbagai problematika kebangsaanyang semakin carut-marut, kompleks, dan akut. Dalam alam yang lebih bebas kini, negara tidak lagi mempunyai kemampuanmonopolistik untuk menafsirkan Pancasila. Kini ada ruang yang sama terbuka bagi siapapun untuk menginterpretasikanPancasila dalam suasana demokratis.  ImplementasiPancasila tidak pada sekedar abtraksi teoritis, tetapi semakin emansipatifberupa tindakan–tindakan praktis dalam berbagai bidang kehidupan.  Pancasila tidak hanya sumber etik sosial,tetapi juga sebagai instrumen politik bagi masyarakat untuk melihat kinerjastruktur kekuasaan yang sedang berlangsung dan melawan semua bentuk ketidakadilansosial, diskriminasi, kekerasan dan segala manifestasinya.  Logika yang memposisikan Pancasila adalahalat kekuasaan harus dibalik dengan menyertakan nilai–nilai yang tumbuhberkembang dalam masyarakat secara demokratis, dan kacamata untuk melihat dan memastikankekuasaan telah bekerja sesuai dengan mandat rakyat.  Pancasila sebagai ideologi nasional,merupakan konsensus sosial yang bersifat final. Konsekuensi dari hal ini adalah penerimaan terhadap Pancasila secarademokratis tanpa wacana dan upaya – upaya menyangsikan keberadaanyanya.  Para pemimpin elit politik yang ada padasupra dan infra struktur politik memikul tanggung jawab besar untukmengintegrasikan Pancasila dalam semua dimensi kehidupan dan menjawab seluruhpersoalan yang terjadi dan dirasakan bangsa kita saat ini.  Oleh karenanya elit politik harus beranimemutar haluan kembali -Cikar Kanan-Vaya Condios-, kembali pada Pancasilasebagai pedoman dalam perilaku politik secara nyata dengan berpijak teguh pada padatiga hal: Pertama, karena kita adalah negara merdeka, tentunya harus menunjukanmemiliki kedaulatan.  Kedaulatan yangtidak dinilai karena formalitas batas geografis dan pengakuan politik darinegara lain.  Namun yang terpenting,memberikan peneguhan rakyat kita sendiri, dengan cepat dan berani bersikap,tegas dan jelas, pada pengambilan keputusan yang menyangkut rakyat dannegara.  Kegamangan dan keragu-raguan,sama saja menyemai sikap oposisi yang selanjutnya anarkis yang masif gunapemenuhan keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan rakyat dan negara.  Kedua, di bidang ekonomi yang seharusnyauntuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pengelolaansektor yang menjadi sumber daya ekonomi bangsa diprioritaskan bertumpu padapotensi bangsa sendiri dan untuk kepentingan rakyat banyak.  Proses menghadirkan kemampuan berdiri, tidak disederhanakandengan tindakan nasionalisasi aset. Karena hidup dalam perkembangan dunia yang kian mengglobal, menjadilebih mudah bila pilihannya pada semakin meningkatkan kemampuan dan keunggulandaya saing bangsa.  Kemampuan dankeunggulan daya saing pada sumber daya manusia, baik pada produksi, konsumsidan komunikasi.  Ketiga, kekayaan akanragam budaya dan nilai-nilai luhurnya adalah modal bagi kepribadian bangsaIndonesia.  Modal dasar ini harus semakindikembangkan untuk pemenuhan dan peningkatkan peran kontributifnya padapengembangan peradaban dunia secara universal. Hal inilah kenapa Bung Karno, salah satu pendiri negara dan bangsaIndonesia, menuliskannya kepada kita dengan: ....nasionalisme kita, adalahnasionalisme yang hidup pada taman sari internasionalisme... Pancasila harusdiintegrasikan dalam perilaku sosial maupun politik dan sebagai alat pemersatubangsa disemua dimensi kehidupan.  Perubahanakan dapat terjadi jika para pemimpin politik kita dapat memberikan tauladankepada seluruh masyarakat akan pelaksanaan Pancasila secara murni dankonsekuen.  Bentuk nyata dari keteladanandan konsistensi pelaksanaan Pancasila ini dapat dimulai dengan diakhirinyakebijakan–kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, praktikkejahatan korupsi, ego kepentingan yang bersifat sektoral, pengutamaanpermusyawaratan sebagai mekanisme politik dalam menyelesaikan seluruh persoalanbangsa dan menolak seluruh kepentingan asing yang bertentangan dengankepentingan nasional.  Diakhir pidato iniingin kami tegaskan lagi, Pancasila merupakan ideologi nasional yang bersifatfinal.  Kami akan secara sungguh –sungguh mengambil posisi untuk menjaga Pancasila sebagai ideologi nasional danmelawan setiap upaya yang bertentangan dan subversif terhadap Pancasila.  Demikian kami akhiri pidato ini.  Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Kuasasenantiasa memberkati perjuangan kita semua.

Sumber : google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar